Sejarah Kesenian Rampak Bedug

Kesenian rakyat merupakan kessenian yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Kesenian tiap daerah memiliki identitas daerah tersebut. Adapun kesenian akan tubuh dan berkembang di masyarakat dengan upaya memelihara dan mengembangkan dari masyarakat itu sendiri.




Hal ini senada dengan pernyataan Kayam (1981:38-39) mengatakan sebagai berikut. “Kesenian tidak akan pernah lepas dari masyarakat. Sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreatifitas dari kebudayaan itu sendiri.

Masyarakat yang menyangga kebudayaan dan demikian juga kesenian, mencipta, memberi peluang, untuk bergerak, memelihara, menularkan, mengembangkan untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru”. Tari rakyat merupakan tari yang hidup di kalangan masyarakat, gerak tari yang sederhana dan menyatu dengan kehidupan masyarakat, sifatnya untuk memenuhi kebutuhan tradisi setempat. Maka Kesenian Rampak Bedug merupakan kesenian yang berkembang secara turun temurun, khususnya di Kabupaten Pandeglang.

Tari rakyat yang termasuk pada kesenian tradisional suatu daerah pada umumnya belum banyak diketahui secara pasti penciptanya. Oleh karena itu, keberadaan kesenian tradisional disampaikan secara lisan. Hal ini senada 32 menurut Kayam menyatakan bahwa kesenian mengandung sifat-sifat dan ciri-ciri yang khas dari masyarakat.

Adapun ciri-ciri kesenian tradisional sebagia berikut. 1. Kesenian tradisional memiliki jangkauan yang terbatas pada lingkungan kultur yang menunjang; 2. Kesenian tradional merupakan cerminan dari satu kultur yang berkembang sangat perlahan, karena dinamik masyarakat merupakan salah satu penunjang; 3. Kesenian tradisional merupakan bagian dari satu “kosmos” kehidupan yang bulat yang tidak terbagi-bagi dalam pengkotakan spesialisasi; dan 4. Kesenian tradisional bukan merupakan hasil kreativitas individuindividu tetapi tercipta secara anonim bersama dengan sifat kolektifitas masyarakat yang menunjangnya.

Demikian pula yang terjadi di Kabupaten Pandeglang pada Kesenian Rampak Bedug, untuk mengetahui sejarah, peneliti menggunakan beberapa informan yang mengetahui Kesenian Rampak Bedug yang masih hidup hingga sekarang sebagai tokoh atau sesepuh Kesenian Rampak Bedug. “Kesenian Rampak Bedug pada awalnya hanya terdapat di kaki dan lereng Gunung Karang yaitu misalnya dari Kecamatan Cadasari, Kecamatan Pandeglang, dan Kecamatan Kaduhejo, dan Kesenian Rampak Bedug berawal dari Ngadu Bedug” (Wawancara Maman Badar Zaman, 22 April 2013). Ngadu Bedug adalah memukul Bedug oleh sekelompok masyarakat kampung yang satu, dengan kampung lain, yang bertujuan untuk memperlihatkan dan mendengarkan keterampilan menabuh bedug, dengan motif dan tabuh yang bervariatif, sesuai dengan kebiasaan dan kreatifitas warganya. Alat kesenian Rampak Bedug yang utama yaitu Bedug.

Menurut Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Banten (2003: 162) “ Bedug adalah alat yang dipergunakan untuk menunjukkan shalat lima waktu, bedug ditabuh sebelum 33 dikumandangkan adzan”. Begitu pula yang diungkapkan oleh H. Illen menyatakan sebagai berikut. ”Bedug berawal dari bedug-bedug yang berada di masjid yang digunakan ketika menjelang shalat kemudian menyambut bulan puasa. Selain itu, fungsi Bedug pada zaman dulu digunakan sebagai pertanda adanya orang meninggal. Masyarakat setempat mengetahui kode yang digunakan saat memukul Bedug, jika pertanda orang meninggal orang tua biasanya bedug ditabuh sebanyak tujuh kali, sedangkan jika yang meninggal anak–anak bedug ditabuh sebanyak tiga kali ( Wawancara H. Illen, 19 April 2013)”.

Kesenian Rampak Bedug dapat dikatakan sebagai pengembangan dari seni Ngadu Bedug. Pada tahun 1950-an, awal mula Ngadu Bedug dilakukan oleh sekelompok masyarakat kampung satu dengan kampung lain. Dalam Ngadu Bedug yang diperlihatkan antar kampung yaitu keterampilan menabuh Bedug, dengan motif tabuh yang kreatif.

Dengan mengarah bedug ke kampung lain, kelompok satu mengawali dengan suara pertama lagu Nantang. Lagu Nantang diperdengarkan ke kampung lain, jika kampung lain membalas dengan lagu lainnya kemudian terjadilah saling balas lagu-lagu lain. Jika balasan suara Bedug kampung satu tidak menjawab, maka kampung tersebut dinyatakan kalah. Penilaian dilakukan kelompok kampung satu yang menekankan pada pola Nabuh Bedug. Setelah acara Ngadu Bedug terkadang berubah menjadi Ngadu Bedog. Ngadu Bedog yaitu berkelahi (Wawancara Maman Badar Zaman, 22 April 2013).

Sekitar tahun 1970-an di Alun-alun Pandeglang diadakan perlombaan seni Ngadu Bedug. Pada masa ini Bupati Karna Suwanda mempersilahkan masyarakat untuk mengikuti lomba. Setelah perlombaan, Bupati berinisiatif memasukkan Ngadu Bedug ke dalam seni pertunjukan. Penilaian Ngadu Bedug 34 kelompok yang paling kuat Nabuh Bedug, sehingga jika salah satu kelompok yang lebih dahulu berhenti Nabuh Bedug dinyatakan kalah dalam pertandingan. Pada Tahun 1980-an seniman Ngadu Bedug berkreasi untuk menambah tarian pada Ngadu Bedug. Pertunjukan tersebut ditambah dengan adopsi dari gerak silat. Akan tetapi gerak silat dan kekompakan Nabuh Bedug adalah kriteria kreasi yang mulai berkembang pada tahun tersebut.

Adapun tahun berikutnya sekitar Tahun 1984-an mengikuti festival di Jawa Barat, pada tahun ini penyempurnaan gerak dan iringan di perhatikan secara ritme dan tempo dalam permainan musik. Setelah mengikuti festival Ngadu Bedug di kenal dengan nama Rampak Bedug. Kesenian Rampak Bedug disajikan dengan bentuk penyajian yang menarik. Kesenian Rampak Bedug yang dikenal di masyarakat berfungsi sebagai penyambutan tamu, pernikahan, hari ulang tahun Kabupaten Pandeglang dan sebagainya. Kata “rampak” mengandung arti serempak atau banyak. Jadi, Rampak Bedug adalah Seni Bedug dengan menggunakan alat musik berupa bedug dan ditabuh secara serempak sehingga menghasilkan irama khas yang enak didengar. Permainan Rampak Bedug mengutamakan kekompakan menabuh Bedug dan kekompakan gerak.

Peralatan yang digunakan Kesenian Rampak Bedug yaitu Bedug Gebrag (bedug besar), Dolongdong, Tilingtit, Anting, Kerep, Anting Carang, dan Antuk. Adapun tabuhan yang dibawakan berasal dari alam, seperti tumbuhan, hewan, dan keadaan yang mengisahkan keberadaan masyarakat yang berada di kaki dan lereng Gunung Karang, lagu tabuhan contohnya Tonggeret, Pingping Cakcak 35 Nantang, Celementre, Kekeretaan, Gibrig Tuma dan Angin-anginan (Wawancara Maman Badar Zaman, 22 April 2013).

Sesuai dengan perkembangan zaman, Kesenian Rampak Bedug pada akhirnya mengalami penyempurnaan, di antaranya kekompakan Nabuh bedug, gerak yang serempak dan diadopsi dari gerak-gerak silat, desain lantai, musik, tata busana, tata rias, tempat pertunjukan dan properti yang menyesuaikan tempat pertunjukan yaitu dalam ruangan dan di luar ruangan. Adapun fungsi Kesenian Rampak Bedug berkembang mengikuti zaman. Dalam buku Seni Budaya Banten (2006: 114-115)

Kesenian Rampak Bedug memiliki fungsi, antara lain sebagai berikut.


  1. Fungsi Religi Rampak Bedug pertama kali dilakasanakan dengan maksud untuk menyambut bulan suci Ramadhan, persis seperti seni Ngadu Bedug. Akan tetapi karena menarik dan mengundang perhatian penonton, kesenian Rampak Bedug berubah menjadi suatu seni yang layak dipertontonkan. Kesenian Rampak Bedug berfungsi sebagai pengiring takbiran, marhabanan, shalawatan (shalawat badar) dan lagu-lagu bernuansa religi. 
  2. Fungsi Hiburan Keindahan pola irama yang dihasilkan dari bunyi Bedug yang dimainkan secara bersamaan menimbulkan kesan tersendiri. Apalagi dipadukan dengan gerakan penari yang mengikuti musik Rampak Bedug. Sehingga antara bunyi yang dihasilkan gerakan penari yang memakai kostum warnawarni terlihat harmonis. Hal ini menjadikan hiburan yang sangat menarik. 
  3. Fungsi Ekonomis Masyarakat pencinta seni yang biasanya mengundang seniman Rampak Bedug untuk memeriahkan acara-acara, suka memberikan imbalan. Para pemain Rampak Bedug bisa mendapatkan uang atau penghasilan dari Kesenian Rampak Bedug. Tokoh dalam Kesenian Rampak Bedug seperti Junaedi (alm) akan tetapi diteruskan oleh generasi beikutnya yaitu H. Illen, H. Maman Badar Zaman, Asman,

Tidak ada komentar: